Misteri Tujua Ri Galesong (Cerita dari Kota Gowa SULSEL)

Kuburannya Banyak Dikunjungi Orang Cina









Di Sulawesi Selatan, kita mengenal Tujua ri Karebosi, Wali Tujua, dan Tujua ri Galesong. Setelah Tujua di Karebosi terungkap pada majalah MITOS edisi pertama, kita coba mengungkap seputar misteri yang menyelimuti Tujua ri (di) Galesong. Karena sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa makam Tujua ri Karebosi adalah juga makam Tujua ri Galesong. Padahal itu keliru.



Makam Tujua, atau masyarakat setempat menyebutnya Karaeng Tujua ri Galesong, terletak di Dusun Bayoa, Desa Galesong Kota, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. Lebih kurang sekitar 20 km dari kota Makassar, dengan jarak tempuh sekitar setengah jam melalui perjalanan dari pusat perbelanjaan GTC Tanjung Bunga.
Kecamatan Galesong yang berpenduduk sekitar 60 ribu jiwa, yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Dusun Bayoa sendiri yang kebetulan berada di kota kecamatan, merupakan daerah pesisir pantai. Di daerah inilah yang merupakan pusat dari makam Karaeng Tujua ri Galesong.

Makam Karaeng Tujua ri Galesong sendiri berada dalam satu kompleks pemakaman yang terdiri dari satu bangunan permanen, yang pada bagian atapnya berbentuk seperti kubah kecil yang menyerupai mesjid. Di dalam bangunan itu terdapat sembilan Makam yang terlihat sangat terawat dengan baik. Pada bagian lantainya telah memakai ubin keramik berwarna putih, sedangkan pada bagian makamnya memakai keramik berwarna hijau hingga menghiasi pusaranya.
Susunan makam yang agak berundak pada bagian atas, ada tiga makam yang merupakan makam kedua orang tua dan kakak tertuanya, sedangkan pada bagian bawahnya berjejer rapi enam makam.
Menurut penjaga Makam Tujua ri Galesong, Mappagassing Dg. Tika (66), bangunan makam tersebut dibangun oleh salah satu peziarah yang hajatnya telah terkabul. Sedangkan untuk perawatan makam diambil dari para peziarah yang datang berkunjung.

Didominasi Orang Cina

Kakek yang masih nampak gagah ini, mengaku menerima tongkat estafet penjaga makam secara turun temurun mulai dari kakeknya, Raja Dg. Milang, kemudian dilanjutkan oleh ayahnya, Jonggo Dg. Gassing. Kelak tanggung jawab pemeliharaan makam akan diberikan lagi kepada keturunannya.
Para peziarah yang datang bukan hanya dari masyarakat pribumi, akan tetapi di dominasi pula oleh warga keturunan Cina dengan hajat atau tujuan yang yang beraneka ragam. Ada yang datang untuk meminta dimudahkan mencari rezeki, mendapat jodoh, meminta kesembuhan dari penyakit dan bahkan ada pula yang datang meminta untuk mencelakai orang. “ Jadi tergantung dari tujuannya atau niatnya saja datang kesini, nak !, kalau baiki niatnya baik juga hasilnya kalau jelek niatnya jelek juga hasilnya, jadi yang jahat bukan Karaeng Tujua akan tetapi orang yang datang meminta-minta” ujar Dg. Tika ketika ditanyakan oleh awak Mitos perihal rumor yang berkembang dimasyarakat mengenai penyakit yang diakibatkan oleh Karaeng Tujua itu.
Adapun kecacatan tubuh yang menimpa ketujuh bersaudara itu akibat kutukan diakui pula oleh Dg. Tika selaku penjaga makam. Diakuinya pula bahwa kecacatan tubuh itulah yang sering dimanfaatkan oleh para dukun untuk menyantet orang. Tak jarang orang yang datang kepadanya yang menderita penyakit seperti bisu akibat santet setelah dibuatkan air dan dibawa kepusara Karaeng Tujua serta merta orang tersebut akan sembuh dari penyakitnya.
“Tidak banyakji bacana, Nak. Kalau ada orang sakit ku obati cukup ku niatkanji sembuh di makam Tujua, kemudian kasih minum air dan biasanya langsung sembuh”ujar Dg. Tika. “Yang datang bukan hanya dari Makassar, ada juga dari Palopo bahkan dari Mamuju, katanya kena ki santetnya Tujua jadi dibawa kesini, ajaibnya langsung ki sembuh kalau dibawa mi ke Makam” jelas Dg. Tika kepada Wartawan MITOS di hadapan Makam Karaeng Tujua.

Adapun urutan nama-nama Karaeng Tujua di Galesong, adalah sebagai berikut :

1.    Karaeng Bau (Anak tertua)
2.    Karaeng Te’ne
3.    Karaeng Kebo
4.    Karaeng Kanang
5.    Karaeng Puji
6.    Karaeng Baji
7.    Karaeng Bungko (Anak Bungsu)

Sedangkan nama kedua orang tuanya adalah ayahnya bernama Daeng Ta Dg. Baya dan ibunya bernama Daeng Ta Dg. Ngiji. Keduanya merupakan kerabat dekat dari Karaeng Galesong, yang konon kabarnya semasa hidupnya memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Penemuan Makam Karaeng Tujua ri Galesong, ditemukan oleh seorang warga Bayoa beberapa abad yang silam melalui mimpi. Dalam mimpi itu disampaikan, bahwa apabila ingin bertemu dengan Karaeng Tujua, yang pada saat terjadinya kutukan tidak diketahui keberadaannya, harus membuka hutan yang kebetulan berada di sekitar pantai Bayoa. Dalam mimpi itu Karaeng Tujua berkata : “Punna ero’ko nu cini’ ka, mae ko a’bela’ …” (Apabila ingin bertemu dengan saya, pergilah mengcangkul) sembari menunjuk lokasi hutan yang akan dicangkul. Ketika hutan itu telah dibersihkan dari pepohonan dan semak belukar, maka nampaklah sembilan buah pusara di tempat itu, yang merupakan makam Tujua Ri Galesong beserta kedua orang tuanya.
Tak ada yang mengetahui nama dari orang yang pertama menemukan makam tersebut, tapi masyarakat sekitar makam meyakini bahwa penemunya tak lain adalah nenek moyang Dg. Tika sendiri, yang kemudian menerima amanah sebagai penjaga makam secara turun temurun.
Misteri mengenai keangkeran Tujua ri Galesong dirasakan pula tim Wartawan MITOS ketika mengadakan investigasi jurnalistik di tempat itu. Mulai dari ban motor yang pecah sampai dengan tak adanya warga yang berani menyebutkan nama nama Karaeng Tujua. Tampak raut wajah kekhawatiran tercermin dari wajah-wajah warga yang diwawancarai. Berbagai macam alasan yang disampaikan, mulai dari takut kualat sampai ada yang takut mati mendadak apabila salah bicara. Karena kejadian aneh seperti itu bukan hal yang luar biasa di Galesong apabila menyangkut Karaeng Tujua.

Misteri Terungkap

Keangkeran yang menyelimuti kabut misteri Tujua ri Galesong, membuat tim MITOS sangat berhati-hati dalam melakukan penelusuran sejarah serta menguak kabut misteri itu.
Tim MITOS, singgah shalat di rumah salah Wartawan MITOS yang kebetulan berada di Beba Kecamatan Galesong Utara. Setelah shalat, anggota tim mengadakan persiapan menuju Makam Karaeng Tujua, yang berada di Bayoa Kecamatan Galesong. Jaraknya lebih kurang 4 km dari Beba. Dalam persiapan itu salah satu awak MITOS menanyakan apakah adan makam wali di Beba. “Apakah di sini (Beba) ada makam wali ?” Begitulah pertanyaannya kepada salah seorang kerabat MITOS di tempat itu. “Ada makam wali disini, namanya Karaeng Sayangnga ri Beba” jawab salah seorang kerabat MITOS sembari menunjukkan lokasi keberadaan makam dengan suara agak bergetar, yang menandakan suatu penghormatan besar terhadap makam tersebut. Dari pertanyaan itulah diketahui bahwa apabila untuk mendapatkan keamanan secara gaib bila ingin berziarah ke Makam Karaeng Tujua, maka sebaiknya berziarah dulu ke Makam Karaeng Sayangnga Ri Beba.
Siapakah Karaeng Sayangnga ri Beba ? Siapa nama aslinya ? Apa hubungannya dengan Karaeng Tujua ri Galesong ? Pertanyaan itulah yang timbul di benak semua anggota tim pada saat itu. Dari titik inilah sesungguhnya awal terungkapnya misteri Karaeng Tujua ri Galesong.
Kisah ini berawal pada tahun 1812, ketika Karaeng Sayanga ri Beba atau yang memiliki nama Abubakar Karaeng Ta Data bin Amas Madina Batara Gowa, raja Gowa ke XXVl meminta kepada salah seorang Resident Inggris yang bernama Sir Richard Philips untuk menetap di daerah Beba di Galesong Utara.
Selama menetap di daerah Galesong, Karaeng Ta Data yang juga merupakan salah seorang ulama dan pejuang kemerdekaan, sering melakukan ritual keagamaan berupa pembacaan Ratib (a’rate’) setiap malam Senin dan malam Jumat, yang sampai saat ini masih terkenal di Galesong dengan sebutan Rate’ Sanneng (Ratib senin) dan Rate’ Juma’ (Ratib Jumat). Tempat melakukan ritual tersebut berpindah-pindah setiap minggunya, biasanya digilir di rumah para bangsawan Galesong pada saat itu.
Bacaan Ratib itu sendiri merupakan bacaan Ratib yang pernah diajarkan oleh buyut Karaeng Ta Data, yakni Tuanta Salamaka Syekh Yusuf. Setiap pembacaan Ratib dihadiri oleh banyak orang, selain dari para pengikut setia Karaeng Ta Data yang terdiri dari Pallapa’ Barambang dan para Cambang. Juga dihadiri oleh segenap bangsawan Galesong beserta kerabatnya. Karena banyaknya peserta Ratib, sehingga bacaan itu terdengar menggemuruh memecah langit malam di Galesong dengan zikir pujian terhadap sang Maha Pencipta.
Rupanya suara-suara bacaan Ratib itu tidak semua orang di Galesong yang menyukainya, ada sebuah keluarga yang merupakan kerabat dekat dari Karaeng Galesong, yang tidak suka mendengar suara bacaan itu. Keluarga itu terdiri dari ayahnya yang bernama Daeng Ta Dg. Baya dan istrinya bernama Daeng Ta dg. Ngiji, memiliki tujuh orang putri yang hampir setara perawakannya, sehingga tak bisa diketahui dengan pasti yang mana adik dan yang mana kakak apabila tak mengenalnya lebih dekat.
Daeng Ta Dg. Baya dan Daeng Ta Dg. Ngiji merupakan jamaah Ratib yang sangat rajin menghadiri pengajian yang dipimpin oleh Karaeng Ta Data. Berbeda halnya dengan ketujuh anaknya yang kurang begitu suka mendengar bacaan tersebut.
Hingga pada suatu malam, setelah melakukan shalat Isya secara berjamaah, mereka pergi ke rumah Karaeng Galesong untuk melakukan bacaan Ratib. Karaeng Ta Data memulai membacakan bacaan Ratib Senin yang kemudian diikuti oleh para jamaahnya. Mereka melakukannya hingga mereka hanyut dalam samudra bacaan Ratib, kemudian alam fikiran mereka terus masuk kedalam keadaan fana’ menuju alam ma’rifah Tuhan.
Dalam kekhusyukan itu terdengar suara pengagungan terhadap Tuhan semakin bergemuruh, sehingga suara-suara yang lain terkalahkan. Rupanya suara itu cukup mengusik telinga ke tujuh wanita bersaudara ini, sehingga mereka mengejek para jamaah dengan kata-kata yang tak pantas.
“Singkamma mami kongkong appirau, anjo tau ri rate ballaka”  (Seperti saja anjing yang melolong, itu orang yang di atas rumah) ejek ke tujuh wanita itu tanpa henti-hentinya sambil tertawa-tawa pula.
Entah siapa yang memberitahu, tiba-tiba dalam kekhusyukan zikirnya, Karaeng Ta Data menghentikan bacaan zikirnya, kemudian dia memanjatkan doa kepada Tuhan, yang ditujukan kepada ke tujuh wanita tadi. Maka seketika itulah kutukan terhadap ke tujuh wanita itu terjadi. Ke tujuh wanita itu dikutuk oleh Tuhan melalui doa dari Karaeng Ta Data, sebagai pelajaran terhadap orang-orang yang sering mengganggu ibadah kepada Tuhan.
Versi Lain

Ada versi lain mengenai kutukan tersebut. Di tengah masyarakat Diceritakan bahwa Karaeng Ta Data melaksanakan ibadah shalat dirumah Karaeng Galesong. Pada waktu itu Karaeng Ta Data menjadi Imam shalat dan yang jadi makmunnya adalah keluarga dan kerabat Karaeng Galesong termasuk ketujuh wanita ini. Ketika Karaeng Ta Data rukuk dalam shalatnya, ke tujuh wanita ini kemudian mengganggu shalat Kareng Ta Data, yakni dengan mencolok-colok jarinya ke buah pelir Karaeng Ta Data, sehingga Karaeng Ta Data kemudian marah dan mengutuknya hingga tujuh turunan, yang dipercayai akan berakhir ditahun 2010.

Setelah terjadinya kutukan, ke tujuh wanita itu kemudian menjadi cacat sesuai dengan tabiat buruk atau kesalahan mereka masing-masing. Seperti uraian di bawah ini :

1.    Karaeng Bau (Kakak tertua) dikisahkan memiliki kelainan berupa cacat pada payu dara yang memanjang, diakibatkan karena sering mengungkap aib seseorang.
2.    Karaeng Te’ne dikisahkan memiliki cacat pada mata berupa buta, diakibatkan sering melihat atau mencari  tahu rahasia orang.
3.    Karaeng Kebo dikisahkan memiliki cacat berupa kulit yang rusak, diakibatkan sering memamerkan kulitnya yang putih dan mulus.
4.    Karaeng Kanang dikisahkan memiliki cacat berupa gila dan sering berdandan dan tertawa-tawa sendiri, diakibatkan terlampau mengagumi kecantikan sendiri.
5.    Karaeng Puji dikisahkan memiliki cacat berupa lumpuh pada kaki, diakibatkan sifatnya yang suka memandang rendah orang lain.
6.    Karaeng Baji dikisahkan memiliki cacat berupa telinga yang tuli, diakibatkan sering mendengarkan cerita tentang aib seseorang.
7.    Karaeng Bungkoa (Pepea) dikisahkan memiliki cacat berupa bisu, diakibatkan suka menghina dan menghardik orang lain walaupun kesalahannya tidak ada. Dikisahkan pula bahwa dia merupakan yang paling jahat dan kejam dari ke tujuhnya. Dia lebih dikenal dengan nama Karaeng Pepea ri Galesong.
Setelah ke tujuhnya mengalami cacat pada tubuhnya, mereka sebagai salah satu keluarga bangsawan Galesong menjadi malu. Biasanya, di masa lampau keluarga Kerajaan yang mendapat aib akan diasingkan di tempat terpencil. Kedua orang tua mereka akhirnya membawa anak-anaknya itu ke dalam salah satu hutan kecil di daerah Bayoa, dan mereka berdiam disitu hingga akhir hayatnya.
Ada informasi menarik yang disampaikan oleh H. Saing dg. Talli (67), mengenai kedua orang tua Karaeng Tujua tersebut. Menurut cerita yang didengar turun temurun, kedua orang tua Tujua merupakan orang sakti yang sering terbukti ucapannya. Jadi ketika ke tujuh anaknya menjadi cacat akibat terkena kutukan, kedua orang tuanya kemudian bersumpah bahwa di kerajaan Gowa akan terkena berbagai macam penyakit, seperti yang menimpa ke tujuh anaknya itu. Penyakit santet atau guna-guna sebelum dikutuknya ke tujuh wanita ini belum ada. Nanti setelah pasca dikutuknya ketujuh wanita ini, maka muncullah penyakit yang disebut guna-guna.

Bisnis Pedukunan

Misteri mistis Karaeng Tujua ri Galesong tak lepas dari para mahluk gaib yang menghuni seputar Makam Karaeng Tujua tersebut. Menurut penjaga makam, sebenarnya yang sering dipakai oleh para dukun untuk menyantet orang berdasarkan pesanan seseorang, adalah para mahluk gaib dari golongan jin yang berada di tempat itu.
Pernyataan tersebut sejalan dengan penyampaian H. Mappainga Kr. Tompo (67) mantan anggota DPRD Takalar periode 1982-1992. Dalam penjelasannya disampaikan bahwa untuk memakai jasa jin disekitar makam tidaklah begitu sulit, biasanya para dukun datang kesitu , kemudian mengambil sebagian minyak yang telah disiapkan ditempat itu. Setelah itu minyak yang diambil dan dibawa pulang, otomatis akan mengundang salah satu jin ditempat itu yang siap mengabdi terhadap dukun tersebut. Jin yang telah ikut itulah yang kemudian diperintahkan untk mencelakai orang yang menjadi sasaran.
“Biasanya para dukun membisniskannya, dengan cara dia yang menyantet dan kemudian dia pula yang menyembuhkannya dengan sejumlah bayaran” ujar Kr. Tompo ketika ditemui di kediamannya. Selaras dengan pernyataan di atas, adalah pendapat masyarakat yang mengakui adanya dukun yang memanfaatkan misteri Tujua ri Galesong untuk mencari uang.
Secara logika, orang yang sudah meninggal berarti dia sudah berada pada suatu alam yang bernama alam Barzah. Alam barzah sendiri memiliki makna yang berarti “dinding yang kokoh”, artinya orang yang sudah meninggal berada pada suatu tempat yang dikelilingi oleh dinding yang kokoh. Itu berarti orang yang berada di dalamnya akan sulit untuk keluar dari dinding tersebut. Lain halnya apabila semasa hidup seseorang memiliki ilmu yang menggunakan jin sebagai perantara untuk mencapai suatu tujuan. Apabila orang tersebut meninggal dunia, ilmu yang dimilikinya tidak ikut mati bersamanya,  akan tetapi ilmu itu akan tetap hidup dan biasanya berperilaku seperti orang tersebut.
Demikian pula halnya dengan Tujua ri Galesong, setelah mereka wafat, ilmu yang dimiliki oleh mereka akan tetap berada di tempat itu dan tentu dapat dipergunakan untuk keperluan apa saja. Inilah yang dimanfaatkan oleh para dukun dalam melaksanakan keperluannya.
Adapun wujud mahluk gaib yang mendiami sekitar makam Tujua menurut berbagai sumber yang sering berhubungan dengan mereka, adalah wujudnya seperti anak kecil, tingginya lebih kurang 90 cm, rambutnya melekat pada batok kepalanya, memakai semacam cawat dari kain yang lusuh serta tubuh yang agak kumal kelihatannya. Apabila seseorang datang berkunjung ke makam dengan maksud memakai jasa Karaeng Tujua, maka beberapa di antara mahluk itu yang akan ikut kepada orang itu, sembari berpegangan pada tangan kiri orang yang memiliki hajat tersebut. Jumlahnya sangat banyak dan bala tentaranya juga tak terhitung jumlahnya. Mahluk tersebut siap setiap saat untuk mengabdi kepada manusia.

Metode terjadinya penyakit yang disebabkan ilmu Karaeng Tujua, menurut kepercayaan masyarakat umum adalah dukun atau orang yang memiliki hajat datang ke tempat Karaeng Tujua, dan kemudian merapalkan suatu mantra sembari mengambil minyak wangi di atas pusara. Minyak yang diambil kemudian dijadikan sebagai media memanggil mahluk gaib, lalu setelah itu dengan bantuan mahluk gaib itu diterbangkanlah ilmu itu dengan sebuah mantra yang mengikat. Biasanya ritual itu diberi tumbal berupa pemotongan hewan sebagai sesaji kepada Karaeng Tujua, padahal yang dijamu itu sebenarnya adalah mahluk gaib tersebut. Mahluk gaib atau jin itu kemudian memasuki tubuh manusia yang dituju dengan mengikuti cacat dari salah satu anggota Karaeng Tujua.

Contohnya, apabila ingin membuat seseorang jadi bisu, maka rombongan jin yang berangkat adalah jin yang memang pada dasarnya juga bisu, sehingga menyumbat saluran pita suara manusia sehingga manusia itu menjadi bisu.
Biasanya penyakit yang ditimbulkan oleh mahluk ini sangat sulit untuk diobati. Pada zaman dahulu, cara yang terbukti efektif untuk pengobatan penyakit ini ditempuh dengan cara melakukan Royong (Bacaan kisah yang dilagukan) dengan mengungkit-ungkit kisah terjadinya kutukan yang menimpa Karaeng Tujua. Tujuannya supaya mereka menjadi malu dan akhirnya meninggalkan tubuh manusia.

Pemanfaatan mahluk gaib ini bukan hanya untuk kepentingan negatife, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan positif. Contohnya seperti dimanfaatkan untuk menghimpun telur ikan terbang (Torani), yang merupakan mata pencaharian terbesar warga Galesong. Karena sebelum turun melaut, biasanya para nelayan datang menziarahi Karaeng Tujua, sembari membawa minyak wangi yang telah diberkahi oleh Karaeng Tujua untuk dioleskan pada setiap ijuk dari pohon kelapa untuk memanggil ikan untuk bertelur.
Mahluk gaib yang menghuni sebagian besar Makam Tujua masih menganut faham animisme atau belum memiliki agama. Jadi pemanfaatannya tergantung orang yang memakai jasanya. Seperti penuturan penjaga makam di atas tadi yang sudah menjaga makam sejak dari kecil.
Label yang melekat pada Karaeng Tujua ri Galesong, tentang suatu sosok yang jahat, tentunya dapatlah mulai dicermati lebih seksama. Karena berdasarkan penulusuran yang sering dimanfaatkan adalah jin sebagai mahluk gaib, sedangkan ruh dari Tujua tetap berada pada dinding yang kokoh yang bernama alam Barzah.

Mengenai kutukan yang menimpa mereka, kita dapat memandang dari sisi hikmah yang dapat diambil dalam peristiwa itu. Karena yang mengutuknya sesungguhnya adalah Tuhan, sbagai akibat kesalahan mereka, melalui perantara wali yang bernama Karaeng Ta Data, untuk pelajaran bagi generasi berikutnya.
Yang sangat diperlukan oleh Karaeng Tujua apabila kita berziarah ke makamnya, adalah berupa doa agar mereka terlepas dari himpitan kekhilafan akibat perbuatan mereka di masa hidupnya. Bukan malah sebaliknya, yang membuat nama mereka menjadi momok yang sangat menakutkan, padahal yang mesti ditakuti adalah Tuhan semesta alam

Posting Komentar

Back to top